Sejarah Pestisida
Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar
4.500 tahun yang lalu (2.500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk
mengendalikan tungau di Sumeria. Sedangkan penggunaan bahan kimia beracun
seperti arsenik, merkuri dan serbuk timah diketahui mulai dipergunakan untuk
memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17 nikotin sulfat
yang diekstrak dari tembakau mulai dipergunakan sebagai
insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu,
pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum
dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris
eliptica (Sastroutomo, 1992).
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama
kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya
sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller
pada tahun 1939 yang dengan penemuannya ini dia dianugrahi hadiah nobel dalam
bidang Physiology atau Medicine pada tahun 1948 (NobelPrize.org). Pada tahun
1940an mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan
diaplikasikan secara luas (Weir, 1998).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa tahun 1940-an dan 1950-an sebagai aloera
pestisida (Murphy, 2005). Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari
50 kali lipat semenjak tahun 1950, dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida
ini dipergunakan setiap tahunnya. Dari
seluruh pestisida yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75% dipergunakan di negara-negara berkembang (Sudarmo, 1987).
Di Indonesia, pestisida yang paling banyak dipergunakan sejak tahun 1950-an sampai akhir tahun
1960-an adalah pestisida dari golongan hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin,
aldrin, dieldrin, heptaklor dan gamma BHC. Penggunaan pestisida-pestisida
fosfat organik seperti paration, OMPA, TEPP pada masa lampau tidak perlu
dikhawatirkan, karena walaupun bahan-bahan ini sangat beracun (racun akut),
akan tetapi pestisida-pestisida tersebut sangat mudah terurai dan tidak
mempunyai efek residu yang menahun. Hal penting yang masih perlu diperhatikan
masa kini adalah dampak penggunaan hidrokarbon
berklor pada masa lampau khususnya terhadap aplikasi derivat-derivat DDT,
endrin dan dieldrin.
Pengertian Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan
sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan
secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut Food Agriculture Organization
(FAO) 1986 dan peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, Pestisida adalah
campuran bahan kimia yang dipergunakan untuk mencegah,
membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan pengganggu seperti binatang pengerat,
termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia.
Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa
kimia, zat pengatur tumbuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta
mikroorganisme atau virus yang dipergunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI
No.6 tahun 1995). USEPA menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang
dipergunakan untuk mencegah,
memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan
mikroorganisme pengganggu (Soemirat, 2003).
Pengklasifikasian Pestisida
Menurut Sudarmo (1991) pestisida dapat diklasifikasikan
kedalam beberapa golongan, dan diantara beberapa pengklasifikasian tersebut
dirinci berdasarkan bentuk formulasinya, sifat penetrasinya, bahan aktifnya,
serta cara kerjanya.
A. Berdasarkan bentuk formulasi
a. Butiran (Granule, G)
Berbentuk butiran yang cara
penggunaanya dapat langsung disebarkan dengan tangan tanpa dilarutkan terlebih
dahulu.
b. Tepung (Dust, D)
Merupakan tepung sangat halus
dengan kandungan bahan aktif 1-2% yang penggunaanya dengan alat penghembus (duster).
c. Bubuk
yang dapat dilarutkan (Wettable Powder, WP)
Berbentuk tepung yang dapat
dilarutkan dalam air yang penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau
untuk merendam benih. Contoh: Mipcin 50 WP.
d. Cairan
yang dapat dilarutkan
Berbentuk cairan yang bahan
aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan
dalam air. Larutannya berwarna putih susu tapi berwarna coklat jernih yang cara
penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot.
e. Cairan
yang dapat diemulsikan
Berbentuk cairan pekat yang bahan
aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan
dalam air. Cara penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau di
injeksikan pada bagian tanaman atau tanah. Contoh : Sherpa 5 EC.
f. Volume
Ultra Rendah
Berbentuk cairan pekat yang dapat
langsung disemprotkan tanpa dilarutkan lagi. Biasanya disemprotkan dengan
pesawat terbang dengan penyemprot khusus yang disebut Micron Ultra Sprayer. Contoh: Diazinon 90 ULV.
B. Ditinjau dari sifat
penetrasinya, pestisida dapat diklasifikasikan kedalam:
a. Penetrasi pada permukaan
Pestisida ini hanya ada pada
permukaan tanaman.
b. Penetrasi
dalam
Apabila disemprotkan ke dalam
permukaan daun, pestisida dapat menembus/meresap ke seluruh jaringan tanaman
yang tidak disemprotkan.
c. Sistemik
Pestisida ini mudah diserap
melalui daun, batang akar, dan bagian lain dari tanaman. Pestisida sisitemik
efektif untuk membasmi bermacam-macam hama penggerek dan pengisap (Departemen Pertanian, 1998).
C. Berdasarkan bahan aktifnya pestisida dapat diklasifikasikan:
Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu:
a. Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari
hasil sintesa kimia, contohnya organoklorin, organofospat, dan karbamat.
b. Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, contohnya neem oil
yang berasal dari pohon mimba.
c. Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad
renik atau mikrobia yaitu jamur, bakteri atau virus contohnya.
d. Pestisida Alami, yaitu pestisida yang berasal dari bahan
alami, contohnya bubur bordeaux
(Sitompul, 1987).
D. Pestisida berdasarkan cara kerjanya
Berdasarkan cara kerjanya, pestisida dapat dibedakan
kedalam beberapa golongan yaitu:
a. Pestisida
Kontak
yaitu pestisida yang dapat
membunuh OPT (organisme pengganggu tanaman) bila OPT tersebut terkena pestisida
secara kontak langsung atau bersinggungan dengan residu yang terdapat di
permukaan tanaman. Contoh : Mipcin 50 WP
b. Pestisida
Sisitemik
yaitu pestisida yang dapat
ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman. OPT akan mati setelah
menghisap/memakan tanaman, atau dapat membunuh gulma sampai ke akarnya.
c. Pestisida
Lambung
yaitu pestisida yang mempunyai
daya bunuh setelah jasad sasaran makanan pestisida. Contoh: Diazinon 60 EC.
d. Pestisida
pernapasan
Dapat membunuh hama yang
menghisap gas yang berasal dari pestisida (Sudarmo, 1991).
E. Pestisida Berdasarkan Organisme Sasaran
Menurut Untung (1993), dari banyaknya jenis jasad
penggangu yang bisa mengakibatkan fatalnya hasil petanian, pestisida dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa macam sesuai dengan sasaran yang akan
dikendalikan, yaitu:
a. Insektisida
Insektisida adalah bahan yang
mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga.
b. Fungisida
Fungisida adalah bahan yang
mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan
mencengah fungi/cendawan. Selain untuk mengendalikan serangan cendawan di areal
pertanaman, fungisida juga banyak diterapkan pada buah dan sayur pascapanen.
c. Bakterisida
Bakterisida adalah senyawa yang
mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.
d. Nematisida
Nematisida adalah racun yang
dapat mengendalikan nematode
e. Akarisida
Akarisida atau sering juga
disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.
f. Rodentisida
Rodentisida adalah bahan yang
mengandung senyawa kimia beracun yang dipergunakan untuk mematikan berbagai
jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
g. Moluskida
Moluskida adalah pestisida untuk
membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpit,
bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak.
h. Herbisida
Herbisida adalah bahan senyawa
beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan penggangu yang disebut
gulma.
i. Pestisida
lain
Selain beberapa jenis pestisida
di atas masih banyak jenis pestisida lain. Namun karena kegunaanya jarang maka
produsen pestisida belum banyak yang menjual, sehingga di pasaran bisa
dikatakan sulit ditemukan. Pestisida tersebut adalah sebagai berikut:
− Pisisida, adalah bahan senyawa kimia beracun untuk
mengendalikan ikan mujair yang menjadi hama di dalam tambak dan kolam.
− Algisida, merupakan pestisida pembunuh ganggang,
− Avisida, pestisida pembunuh burung.
− Larvisida, pestisida pembunuh ulat.
Pestisida di Indonesia adalah
sebagai berikut insektisida 55,42%, herbisida 12,25%, fungisida 12,05%, repelen
3,61%, zat pengatur pertumbuhan 3,21%, nematisida 0,44%, dan 0,40% ajuvan serta
lain-lain berjumlah 1,41%. Dari gambaran ini insektisida merupakan jenis
pestisida yang paling banyak digunakan (Soemirat, 2005).
Pestisida juga diklasifikasikan berdasarkan pengaruh
fisiologisnya, yang disebut farmakologis atau klinis, sebagai berikut:
A. Senyawa Organofospat
Racun ini merupakan penghambat yang kuat dari enzim cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada
persimpangan-persimpangan syaraf (neural
jungstion) yang disebabkan oleh aktivitas cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf
kelenjar dan otot-otot. Organofosfat disintesis pertama kali di Jerman pada awal
perang dunia kedua.
Bahan tersebut digunakan untuk gas syaraf sesuai dengan
tujuannya sebagai insektisida. Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida tetapi juga toksik
terhadap mamalia. Penelitian berkembang tersebut dan ditemukan komponen yang
paten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia (misalnya: malathion).
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik
diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang.
Termakan hanya dalam jumlah yang sedikit saja dapat menyebabkan kematian,
tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada
orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase
dalam plasma dan kholinesterase dalam
sel darah merah. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2
minggu (Yusniati, 2008).
B. Senyawa Organoklorin
Dari golongan ini paling jelas pengaruh fisiologisnya seperti
yang ditunjukkan pada susunan syaraf pusat, senyawa ini berakumulasi pada
jaringan lemak.
C. Senyawa Arsenat
Pada keadaan keracunan akut ini menimbulkan
gastroentritis dan diarhoe yang menyebabkan kekejangan yang hebat sebelum
menimbulkan kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan pada ginjal
dan hati.
D. Senyawa Karbamat
Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan
karbamat adalah menghambat aktivitas enzym
cholinesterase darah dengan gejala-gejala seperti senyawa organofospat.
E. Piretroid
Piretroid merupakan senyawa kimia yang meniru struktur
kimia (analog) dari piretrin. Piretrin sendiri merupakan zat kimia yang
bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang
diekstrak dari bunga semacam krisan, piretroid memiliki beberapa keunggulan,
diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit, spektrum
pengendaliannya luas, tidak persisiten, dan memiliki efek melumpuhkan yang
sangat baik. Namun karena sifatnya yang kurang atau tidak selektif, banyak piretroid
yang tidak cocok untuk program pengendalian hama terpadu (Djojosumarto, 2008).
Teknik Aplikasi Pestisida
Keberhasilan penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh
aplikasi yang tepat, untuk menjamin pestisida tersebut mencapai jasad sasaran
yang dimaksud, selain juga oleh faktor jenis dosis, dan saat aplikasi yang
tepat. Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat berfungsi dengan baik
kecuali bila diaplikasikan dengan tepat.
Aplikasi pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai
aplikasi pestisida yang semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan
pada saat yang tepat, dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlah
pestisida yang telah ditentukan sesuai dengan anjuran dosis (Wudianto, 1999).
Setiap aplikasi pestisida dapat dinilai melalui dua cara,
yaitu:
1. Evaluasi biologi merupakan pengukuran tingkat penurunan
populasi jasad pengganggu sasaran atau kerusakan yang ditimbulkannya serta
pengukuran terhadap hasil (yield).
2. Pengukuran fisik terhadap hasil semprotan berupa liputan (coverage)
hasil semprotan pada sasaran yang dapat berupa tanaman, serangga, gulma,
ataupun sasaran buatan tertentu, seperti kertas peka (sintetic paper) dan kaca slide (Oka, 1995).
Untuk setiap jumlah larutan pestisida yang disemprotkan,
jumlah droplet per satuan luas akan berhubungan erat dengan ukuran droplet
tersebut. Semakin banyak jumlah droplet per satuan luas, akan semakin kecil
ukuran droplet tersebut. Sebaliknya semakin sedikit jumlah droplet per satuan
luas, akan semakin besar ukuran droplet tersebut.
a Cara
Pemakaian (Aplication methods):
Wudianto (1999), adapun cara
pemakaian pestisida yang sering dilakukan oleh petani adalah sebagai berikut:
1. Penyemprotan (Spraying): merupakan metode yang paling
banyak digunakan. Biasanya digunakan 100-200 liter eceran insektisida per ha.
Paling banyak adalah 1000 liter per ha sedangkan yang paling kecil 1 liter per
ha seperti dalam ULV.
2. Dusting: untuk hama rayap kayu kering cryptothermes, dusting sangat efisien bila dapat mencapai koloni
karena racun dapat menyebar sendiri melalui efek prilaku trofalaksis.
3. Penuangan atau penyiraman (pour on): misalnya untuk
membunuh sarang semut, rayap, dan serangga tanah di persemaian.
4. Injeksi batang: dengan insektisida sisitemik bagi hama
batang, daun, dan penggerek.
5. Dipping: rendaman atau pencelupan seperti untuk biji (benih)
kayu.
6. Fumigasi: penguapan, misalnya pada hama gudang atau kayu.
b Pestisida
dan Bahan Penyampur
Pestisida sebagai bahan racun
aktif (active ingredients) dalam formulasi biasanya dinyatakan dalam
berat atau volume (di Amerika Serikat dan Inggris). Bahan-bahan lain yang tidak
aktif yang dicampurkan dalam pestisida yang telah diformulasi dapat berupa:
1. Solvent adalah bahan cair telarut mis: alkohol, minyak
tanah, xyline dan air. Biasanya bahan terlarut ini telah diberi deodorant
(bahan penghilang bau tidak enak baik yang berasal dari pelarut maupun dari
bahan aktif).
2. Sinergis adalah sejenis bahan yang dapat meningkatkan daya
racun walaupun bahan itu sendiri mungkin tidak beracun, seperti sesamin
(berasal dari biji wijen), dan piperonil butoksida.
3. Emulsifier merupakan bahan detergen yang akan memudahkan
terjadinya emulsi bila bahan minyak diencerkan dalam air (Sastroutomo, 1992).
c Dosis
Pestisida
Dosis adalah jumlah pestisida
dalam liter atau kilogram yang digunakan untuk mengendalikan hama tiap satuan
luas tertentu atau tiap tanaman yang dilakukan dalam satu aplikasi atau lebih.
Sementara dosis bahan aktif adalah jumlah bahan aktif pestisida yang dibutuhkan
untuk keperluan satuan luas atau satuan volume larutan. Besarnya suatu dosis
pestisida tergantung dalam label pestisida. Sebagai contoh dosis insektisida
diazinon 60 EC adalah satu liter per ha untuk sekali aplikasi, atau misal 400
liter larutan jadi diazinon 60 EC per ha untuk satu kali aplikasi sedangkan
untuk dosis bahan aktif contohnya sumibas 75 SP dengan dosis 0,75 kg/ha
(djojosumarto, 2008).
d Konsentrasi
Pestisida
Konsentrasi penyemprotan adalah
jumlah pestisida yang disemprotkan dalam satu liter air (atau bahan pengencer
lainnya) untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) tertentu. Ada
tiga macam konsentrasi yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan pestisida.
- Konsentrasi bahan aktif
yaitu persentase bahan aktif pestisida dalam larutan yang sudah dicampur dengan
air.
- Konsentrasi formulasi
yaitu banyaknya pestisida dalam cc atau gram setiap liter air
- Konsentrasi larutan atau
konsentrasi pestisida yaitu persentase kandungan pestisida dalam suatu larutan
jadi (Djojosumarto, 2008).
Insektisida
A Pengertian Insektisida
Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh
serangga yang berasal dari kata insekta = serangga dan kata lain cida yang
berarti pembunuh. Insektisida adalah alat yang ampuh yang tersedia untuk
penggolongan hama, apabila hama sudah mendekati atau melewati kerusakan ekonomi
maka insektida adalah salah satu pengendali yang dapat diandalkan untuk
menghadapi keadaan darurat itu (Wudianto, 1999).
B Penggolongan Insektisida Berdasarkan Susunan Kimia
Menurut Sudarmo (1992), ada banyak
penggolongan/jenis-jenis pestisida yang beredar di pasaran dan senantiasa
digunakan baik yang ditujukan pada hewan, tumbuhan maupun jasad renik. untuk
mengendalikan jenis serangga maupun hewan yang berpotensi sebagai organisme
pengganggu tanaman adalah insektisida. Penggolongan insektisida berdasarkan
susunan kimia dapat dibedakan menjadi insektisida inorganik, insektisida
organik, dan insektisida organik sintetik.
a. Insektida inorganik
adalah senyawa insektisida yang tidak mengadung unsur karbon, contoh :
arsenikum, merkurium, boron, tembaga, sulfur, asam borat, kalsium sianida,
arsenar timbal dan lain-lain.
b. Insektisida organik
alamiah adalah senyawa insektisida yang mengandung unsur karbon, insektisida
organik alamiah merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (botani) dan
bahan alami lainnya, yang terdiri dari:
1. Asal tanaman, contoh :
nikotin (ekstrak tembakau), pyrethrum (bunga serunai/chrysant), dan ryania
biasa mudah diuari oleh sinar matahari.
2. Asal mikroba, bahan dasarnya
adalah mikrobiologis, contoh : thuricide HP (senyawa yang mengandung bakteri
basillus thuringiensis).
c. Insektisida organik sintetik
1. Organoklorin, insektisida
ini sedikit digunakan di negara berkembang karena mereka memperhatikan secara
kimia bahwa insektisida organoklor adalah senyawa yang tidak reaktif, memiliki
sifat yang sangat tahan atau persisiten, baik dalam tubuh maupun dalam
lingkungan memiliki kelarutan sangat tinggi dalam lemak dan memiliki kemampuan
terdegradasi yang lambat (Ecobichon dalam Ruchicawat, 1996 dan Tarumingkeng,
1993). Insektisida ini masih digunakan pada negara sedang berkembang terutama
negara pada daerah ekuator karena murah, efektif dan persisten. Contoh DDT,
aldrin, dieldrin, BHC, endrin, lindane, heptaklor, toksofin, pentaklorofenol
dan beberapa lainnya.
2. Organofospat ditemukan
pada tahun 1945. struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas
syaraf. organofosfat dapat menurunkan populasi serangga dengan cepat,
persistensinya di lingkungan sedang sehingga organofosfat secara bertahap dapat
menggantikan organoklorin. Sampai saat ini organofosfat masih merupakan
insektisida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Contoh : malathion,
monokrotofos, paration, fosfamidon, bromofos, diazinon, dimetoat, diklorfos,
fenitrotion, fention, dan puluhan lainnya.
3. Karbamat dikenalkan pada
1951 oleh geology chemical company di Switzerland dan dipasarkan pada tahun
1965. insektisida tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan
sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti organoklorin.
Umumnya digunakan dalam rumah untuk penyemprotan nyamuk, kecoa, lalat, dan
lain-lain. Contoh: karbaril, metiokarb, propoksur, aldikarb, metomil, oksamil,
oksi karboksin, metil karbamat, dimetil karbamat seperti bendiokarb,
karbofuran, dimetilon, dioksikarb, dan oksikarboksin.
4. Piretroid digunakan sejak
tahun 1970-an. Keunggulannya karena memiliki pengaruh ”knock down” atau
menjatuhkan serangga dengan cepat, tingkat toksisitas rendah bagi manusia.
Tetapi cepat perkembangan hama baru yang tahan trhadap insektisida piretroid. Contoh : alletrin,
bioalletrin, sipermetrin, permetrin, dekametrin dan lain-lain.
5. Fumigan, contoh : metil bromida, etilen dibromida, karbon
disulfida, fosfin dan naftalin.
6. Minyak-minyak mineral
adalah minyak parafin yang dihaluskan dan dibuat emulsi yang diaplikasikan
secar ringan pada tanaman untuk mengendalikan tungau, kutu-kutu tanaman. Contoh
: dinitrokresol.
7. Zat-zat pengatur tumbuh
serangga, contoh : difubenzuron, kinofrin dan metoprin.
8. Senyawa-senyawa mikroba,
contoh: bacillus thuringiensis banyak dipergunakan untuk mengendalikan
hama-hama lepidoptera, bacillussporopiliae dan bacillus lentimorphus untuk
mengendalikan kumbang jepang (Sastroutomo, 1992).
Petunjuk Umum Keamanan Dalam Pemakain Pestisida
Petunjuk umum keamanan dalam pemakaian pestisida agar
aman digunakan dan tidak terlalu menimbulkan efek peracunan pada pemakai, maka
pemerintah dan formulator telah menetapkan dan memberi petunjuk sebagai pedoman
umum dalam penanganan senyawa kimia berbahaya mulai dari pemilihan jenis
pestisida, tata cara penyimpanan, penakaran, pengenceran, pencampuran sampai
kepada prosedur kebersihannya (Wudianto, 1994).
A. Di dalam
memilih pestisida pada tanaman padi sebaiknya diperhatikan hal-hal berikut:
a. Dalam memilih formulasi
pestisida yang akan digunakan untuk mengendalikan suatu jasad penggangu
tanaman, lebih dulu harus diketahui dengan pasti jenis jasad penggangu yang
menyerang tanaman, karena suatu fomulasi pestisida hanya efektif terhadap jenis
jasad penggangu tertentu.
b. sebelum memilih pestisida
bacalah dulu label pada wadah atau pembungkus pestisida, terutama keterangan
mengenai jenis-jenis jasad penggangu yang dapat dikendalikan, cara menggunakan,
dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pestisida yang berdasarkan keterangan
pada label efektif terhadap jasad pengganggu tanaman yang akan dikendalikan,
dapat digunakan dengan alat yang tersedia, dan aman ntuk keadaan ditempat
pestisida itu akan digunakan.
c. Pilihlah pestisida yang
telah terdaftar dan diijinkan oleh pemerintah (Departemen Pertanian) untuk
digunakan, dikemas dalam wadah atau pembungkus asli, dan dengan label resmi
yang memuat keterangan lengkap megenai pestisida itu. Pada label pestisida yang
terdaftar senantiasa tercantum nomor pendaftaran, nama dan alamat lengkap
pemegang produsen pestisida yang bersangkutan (Departemen Pertanian, 1984).
B. Menyimpan Pestisida
Menyimpan pestisida secara aman merupakan salah satu
tindakan keselamatan penggunaan pestisida, dan diantara beberapa cara tersebut
adalah:
a. Simpanlah pestisida dalam
wadah atau pembungkus asli yang tertutup rapat dan tidak bocor atau rusak,
dengan label asli dan keterangan lengkap dan jelas.
b. Simpanlah pestisida dalam
lemari atau peti khusus yang dapat dikunci, atau dalam ruangan khusus yang juga
dapat dikunci, sehingga tidak dapat terjangkau oleh anak-anak, hewan piaraan
atau ternak serta jauh dari makanan, minuman, atau sumber api.
c. Sediakan air dan bahan
pembersih (sabun atau detergen dan lain-lain), bahan penyerap pestisida (pasir,
kapur, serbuk gergaji atau tanah) sapu, sekop dan wadah untuk tempat membuang
pestisida yang tumpah. Lebih baik apabila pemadam apai yang seringdiperiksa
agar selalu dalam keadaan baik.
d. Periksalah secara teratur
pestisida yang disimpan untuk mengetahui ada tidaknya wadah pestisida yang
bocor atau pestisida yang rusak (Suma’mur, 1986).
C. Keselamatan Penggunaan
Pestisida Pada Lahan Pertanian
Pada dasarnya semua pestisida adalah racun (toksin) yang
berbahaya juga bagi manusia, hewan piaraan, ikan, dan makhluk hidup lain yang
bukan sasarannya. Pestisida yang berbentuk gas dan tepung sangat berbahaya
melalui pernapasan, sedangkan yang berbentuk cairan lebih berbahaya melalui
kulit (Tarumengkeng, 1977). Oleh karana itu untuk mengurangi resiko keracunan,
perlu diperhatikan beberapa hal:
a. Gunakanlah alat pelindung pernafasan (masker), pakaian
pelindung, dan sarung tangan agar tubuh terlindung dari percikan pestisida.
b. Jangan sampai pestisida yang digunakan mengenai tanaman
disekitarnya, tempat pengembalaan, kolam ikan, dan tempat lain yang memahayakan
manusia dan hewan.
c. Jangan melakukan penyemprotan berlawanan dengan arah angin.
Waktu bekerja jangan makan atau minum.
d. Selama menyemprot jangan mengusap mata atau mulut dengan
tangan. Cuci tangan dan mandi dengan sabun setelah bekerja dan gantilah pakain.
Pakaian kerja hendaknya dicuci sebelum dipakai kembali.
e. Bila selama menyemprot badan terasa kurang sehat, segera
hentikan pekejaan menyemprot dan berobatlah ke dokter.
f. Jangan menggunakan
pestisida pada tanaman yang dipanen, karena residu yang tertinggal pada tanaman
akan membahayakan hewan dan manusia.
g. Pertolongan pertama apabila terjadi keracunan pestisida
yaitu, berusaha unutk memuntahkannya dengan cara memasukkan jari yang bersih ke
dalam tenggorokan atau minum air garam (1 gelas air + 1 sendok garam dapur).
h. Apabila mata terkena pestisida, cucilah dibawah air mengalir
selama lebih kurang 15 menit dengan air bersih.
i. Apabila mengisap uap
beracun pestisida, bawalah penderita ketempat terbuka dan apabila perlu
usahakan nafas buatan. (Departemen Pertanian, 1998).
D. Mengatasi kontaminasi
pestisida
Mengatasi kontaminasi pestisida dapat dilakukan dengan
berbagai cara agar tidak menimbulkan kontaminasi, yaitu:
a. Jika rumput, sungai atau
saluran air tercemar pestisida, berilah tanda peringatan di tempat itu agar
oarang tidak mengembalakan ternak dan tidak mengambil air dari sumber yang
tercemar tersebut. Selanjutnya hubungilah petugas yang berkepentingan untuk
dapat dilkakukan tindakan pengamanan lebih lanjut.
b. Apabila pestisida
formulasi cairan tumpah di lantai atau tanah, bersihkanlah segera, timbunlah
dengan bahan penyerap (pasir, kapur, serbuk gergaji, atau tanah) kemudian sapu
dan tempatkan dalam wadah yang kuat untuk dibuang dengan cara yang aman.
Setelah bahan penyerapa disapu, lantai dibersihkan dengan air dan bahan
pembersih (sabun, detergen dan sebagainya).
c. Apabila wadah pestisida
rusak atau bocor, wadahkanlah pestisida yang masih tersisa ke dalam wadah yang
telah tersedia, pilihlah wadah yang terbuat dari bahan yang sama seperti wadah
aslinya. Berilah label atau keterangan yang jelas seperti tercantum dalam label
sebelumnya disertai tambahan keterangan saat dikakukan pewadahan ulang tersebut
harus segera dilakukan.
d. Air dan sabun atau
detergen umumnya dapat digunakan untuk membersihkan pestisida yang tumpah
(Anonim, 1984).
BMR Pestisida Golongan Organofosfat
Standar Nasional Indonesia (SNI) merumuskan tentang batas
maksimum residu pestisida pada beras, yaitu untuk jenis pestisida khusunya
golongan organofosfat, seperti klorpirifos residu pestisida pada beras yang
diperbolehkan sebesar 0,5 mg/kg, klorfenvinfos 0,05 mg/kg, fention 0,05 mg/kg,
fenitrotion 1 mg/kg, dan diazinon sebesar 0,1 mg/kg.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian yang diperoleh dari
sentra produksi di Jawa Barat dan Jawa Timur dapat diketahui bahwa tomat yang
tidak dicuci mengandung profenos rata-rata 0,096 mg/kg, sedangkan tomat yang
dicuci mengandung 0,059 mg/kg. Residu insektisida klorfiripos pada beras
sebesar 0,417 mg/kg. Dengan demikian bahan pangan yang mengandung residu
insektisida ini akan termakan oleh manusia dan tentunya dapat menimbulkan efek
yang berbahaya terhadap kesehatan manusia (Departemen Pertanian, 1998).
Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan
A Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan Secara Umum
Berikut ini adalah gejala kearacunan secara umum yang
berkaitan dengan pestisida, yang mungkin timbul sendiri atau bersama-sama,
diantara gejala umum yang sering kita alami jika mengalami keracunan pestisida
yaitu Kelemahan atau kelelahan yang berlebihan, kulit iritasi, terbakar,
keringat berlebihan, perubahan warna. Sementara untuk gejala keracunan
pestisida pada mata ditandai dengan Iritasi, terbakar, air mata berlebihan,
kaburnya penglihatan, biji mata mengecil atau membesar.
Pada saluran pencernaan orang yang mengalami gejala
keracunan pestisida akan ditandai dengan mulut dan kerongkongan yang terbakar,
air ludah yang berlebihan, mual, muntah, perut kejang atau sakit, dan mencret.
Keracunan pestisida dapat juga meimbulkan gangguan pada sisitem syaraf yang
ditandai dengan gejala kesulitan bernapas, napas berbunyi, batuk, dada sakit,
atau kaku (Weir, 1981).
B Dampak Pestisida Golongan Organofospat Terhadap Kesehatan
Apabila masuk kedalam tubuh, baik melalui kulit, mulut,
dan saluran pencernaan maupun saluran pernapasan, pestisida organofosfat akan
berikatan dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur bekerjanya syaraf,
yaitu kholinesterase. Apabila kholinesterase terikat, maka enzim tersebut tidak
dapat melaksanakan tugasnya sehingga syaraf dalam tubuh terus menerus
mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu. Dalam keadaan demikian
otot-otot tersebut senantiasa bergerak-gerak tanpa dapat dikendalikan.
Disamping timbulnya gerakan-gerakan otot-otot tertentu,
tanda dan gejala lain dari keracunan pestisida organofosfat adalah pupil atau
celah iris mata menyempit sehingga penglihatan menjadi kabur, mata berair,
mulut berbusa, atau mengeluarkan banyak air liur, sakit kepala, rasa pusing,
berkeringat banyak, detak jantung yang cepat, mual, muntah-muntah, kejang pada
perut, mencret sukar bernapas, otot-otot tidak dapat digerakkan atau lumpuh dan
pingsan (Scharpio, 1998).
Dinamika Pestisida di Lingkungan
Pestisida sebagai salah satu agen pencemar ke dalam
lingkungan baik melalui udara, air maupun tanah dapat berakibat langsung
terhadap komunitas hewan, tumbuhan terlebih manusia. Pestisida yang masuk ke
dalam lingkungan melalui beberapa proses baik pada tataran permukaan tanah
maupun bawah permukaan tanah. Masuk ke dalam tanah berjalan melalui pola
biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanaman, proses reabsorbsi oleh akar
serta masuk langsung pestisida melalui infiltrasi aliran tanah. Gejala ini akan
mempengaruhi kandungan bahan pada sistem air tanah hingga proses pencucian zat
pada tahap penguraian baik secara biologis maupun kimiawi di dalam tanah.
Proses pencucian bahan-bahan kimia tersebut akan
mempengaruhi kualitas air tanah baik setempat maupun secara region dengan
berkelanjutan. Apabila proses pemurnian unsur-unsur residu pestisida berjalan
dengan baik dan tervalidasi hingga aman pada wadah-wadah penampungan air tanah,
misal sumber mata air, sumur resapan dan sumur gali untuk kemudian dikonsumsi
oleh penduduk, maka fenomena pestisida ke dalam lingkungan bisa dikatakan aman.
Namun demikian jika proses tersebut kurang berhasil atau bahkan tidak berhasil
secara alami, maka kondisi sebaliknya yang akan terjadi.
Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan
terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari
masuknya pestisida ke dalam lingkungan aliran permukaan seperti sungai, danau
dan waduk yang tercemar pestisida akan mengalami proses dekomposisi bahan
pencemar. Dan pada tingkat tertentu, bahan pencemar tersebut mampu terakumulasi
hingga dekomposit Pestisida di udara terjadi melalui proses penguapan oleh
foto-dekomposisi sinar matahari terhadap badan air dan tumbuhan. Selain pada
itu masuknya pestisda diudara disebabkan oleh driff yaitu proses
penyebaran pestisida ke udara melalui penyemprotan oleh petani yang terbawa
angin.
Akumulasi pestisida yang terlalu berat di udara pada akhirnya akan menambah
parah pencemaran udara. Gangguan pestisda oleh residunya terhadap tanah
biasanya terlihat pada tingkat kejenuhan karena tingginya kandungan pestisida
persatuan volume tanah. Unsur-unsur hara alami pada tanah makin terdesak dan sulit
melakukan regenerasi hingga mengakibatkan tanah masam dan tidak produktif
(Frank C. Lu, 1995)
Sumber:
Anonim., 1984. Pestisida Untuk
Pertanian danKehutanan. Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan. Direktotarat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.
Frank, C.
Lu., 1995, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi
II, Penerjemah Edi Nugroho, 358, UI-Press, Jakarta.
Weir,David,
dan Schapiro,Mark. 1998. Lingkaran Racun Pestisida. Sinar Harapan, Jakarta.
Departemen Pertanian RI, 1984.
Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan. Pestisida dan Penggunaanya. PT.
Petrokimia Gresik.
Departemen Pertanian 1998. Pestisida Untuk
Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan.
Suma’mur , P.K., 1986. Hygiene
Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Gunung
Agung, Jakarta.
Wudianto, R. 1994. Petunjuk
Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta
Sudarmo S., 1992. Pestisida Untuk Tanaman. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Yusniati,
2008. Pengendalian Hama Terpadu Pada Padi Sawah. www.sdsindonesia.com. Diakses
pada 17 Mei 2016.
Djojosumarto, P, 2008. Pestisida
dan Aplikasinya, PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Sastroutomo, S.S. (1992). Pestisida: Dasar Dasar
dan Dampak Penggunaannya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 18-20, 26-27.
FAO and WHO. (2010). Pesticide. www.codexalimentarius.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar